PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA PADA KASUS MESUJI
Manusia, pada hakikatnya, secara kodrati dinugerahi hak-hak
pokok yang sama oleh Tuhan Yang Maha Esa. Hak-hak pokok ini disebut hak asasi
manusia (HAM). Hak asasi manusia adalah sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa,
yang melekat pada diri manusia, bersifat kodrati, universal dan abadi,
berkaitan dengan harkat dan martabat manusia. Pada gilirannya, hak-hak dasar
atau hak-hak pokok yang dibawa manusia sejak lahir sebagai anugerah Tuhan Yang
Maha Esa, di mana hak-hak asasi ini menjadi dasar daripada hak-hak dan
kewajiban-kewajiban yang lain.
Umumnya, kita, masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama
Islam (sebagai akibat dari pola pendidikan ala Barat yang dikembangkan semenjak
jaman penjajahan Belanda dan diteruskan di era republik pasca proklamasi
kemerdekaan hingga kini) mengenal konsepsi HAM yang berasal dari Barat. Kita
mengenal konsepsi HAM itu bermula dari sebuah naskah Magna Charta, tahun 1215,
di Inggeris, dan yang kini berlaku secara universal mengacu pada Deklarasi Universal
HAM (DUHAM), yang diproklamasikan PBB, 10 Desember 1948.
Padahal, kalau kita mau bicara jujur serta mengaca pada
sejarah, sesungguhnya semenjak Nabi Muhammad S.A.W. memperoleh kenabiannya
(abad ke-7 Masehi, atau sekira lima ratus tahun/lima abad sebelum Magna Charta
lahir), sudah dikenalkan HAM serta dilaksanakan dan ditegakkannya HAM dalam
Islam. Atas dasar ini, tidaklah berlebihan kiranya bila sesungguhnya konsepsi
HAM dalam Islam telah lebih dahulu lahir tinimbang konsepsi HAM versi Barat.
Bahkan secara formulatif, konsepsi HAM dalam Islam relatif lebih lengkap
daripada konsepsi HAM universal.
Hak-hak dasar yang terdapat dalam HAM menurut Islam ialah :
(1) Hak Hidup; (2) Hak-hak Milik; (3) Hak Perlindungan Kehormatan; (4) Hak
Keamanan dan Kesucian Kehidupan Pribadi; (5) Hak Keamanan Kemerdekaan Pribadi;
(6) Hak Perlindungan dari Hukuman Penjara yang Sewenang-wenang; (7) Hak untuk
Memprotes Kelaliman (Tirani); (8) Hak Kebebasan Ekspresi; (9) Hak Kebebasan
Hati Nurani dan Keyakinan; (10) Hak Kebebasan Berserikat; (11) Hak Kebebasan
Berpindah; (12) Hak Persamaan Hak dalam Hukum; (13) Hak Mendapatkan Keadilan;
(14) Hak Mendapatkan Kebutuhan Dasar Hidup Manusia; dan (15) Hak Mendapatkan
Pendidikan.[1]
Pelanggaran Hak Asasi Manusia adalah setiap perbuatan seseoarang
atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak
disengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi,
membatasi dan atau mencabut Hak Asasi Manusia seseorang atau kelompok orang
yang dijamin oleh Undang-undang, dan tidak mendapatkan atau dikhawatirkan tidak
akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar berdasarkan mekanisme
hukum yang berlaku (Pasal 1 angka 6 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM).
Salah satu contoh pelanggaran HAM berat yang sekarang ini
banyak di bicarakan oleh khalayak umum yaitu dugaan adanya pembantaian di
Mesuji Sumatera Selatan. Dari tahun ketahun Mesuji selalu bersimbah darah meski
dalam pembukaan UUD 1945 telah diamanatkan bahwa pemerintah negara Indonesia
wajib melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia.
Dalam kenyataannya pemerintah belum mampu melindungi tumpah darah Indonesia.
Hal ini bisa kita lihat sekurangnya dalam kasus yang menimpa warga Desa Sodong
Kec. Mesuji Propinsi Sumatera Selatan, Desa Sritanjung, Kagungan Dalam dan
Nipah Kuning Kabupaten Mesuji dan Desa Talang Batu Kab. Mesuji Propinsi
Lampung. Warga di ketiga lokasi ini telah menjadi korban perampasan Hak Atas
Tanah dan ketidakadilan perlakuan oleh korporasi dan aparat penegak hukum.
Bahkan tindakan tak beradab dan keji menimpa warga desa.
Kasus yang mencuat saat ini di Mesuji terdapat tiga kasus,
walau sesungguhnya masih ada kasus yang tinggal menunggu bom waktu. Ketiga
kasus tersebut, pertama adalah kasus pengelolaan lahan milik adat di areal
kawasan Hutan Tanaman Industri Register 45 Way Buaya tepatnya di Talang
Pelita Jaya Desa Gunung Batu telah mencuat pada februari 2006 dan puncaknya
berujung kematian Made Asta pada 6 Nopember 2010. Kedua, kasus sengketa tanah
lahan sawit seluas 1533 ha antara warga Desa Sei Sodong dengan PT. Sumber Wangi
Alam yang berakhir dengan tragedi pembantaian terhadap dua orang petani tak
bersenjata ditengah kebun sawit pada 21 April 2011. Dan ketiga kasus tanah
lahan sawit seluas 17 ribu ha antara warga Desa Sritanjung, Kagungan Dalam dan
Nipah kuning dengan PT. Barat Selatan Makmur Investindo yang puncaknya berujung
kematian Zaini pada 10 Nopember 2011.
Tindakan biadab dan keji ini tidak pernah oleh negara
disebut sebagai pelanggaran HAM Berat. Malah ditengah situasi duka, aparat
masih menjalankan upaya kriminalisasi kepada warga yang menjadi korban walau
masyarakat sejak awal telah mengadu kepada Polisi dan pemerintah setempat.
Demikian pula terhadap Komnas HAM, warga Desa Sritanjung melapor kepada Komnas
HAM sejak Baharudin Lopa masih menjabat hingga menjelang satu hari sebelum
terjadi penembakan oleh Brimob. Kasus di Desa Sodong telah pula di
koordinasikan sejak Mei 2011 kepada Komnas HAM.
Dari ketiga kasus ini kami melihat bahwa pemicu konflik terkait
perkebunan sawit adalah karena pihak perkebunan sawit telah merampas dan
menguasai tanah warga dalam waktu yang lama mulai 10 – 17 tahun. Dan warga
tidak satu rupiah-pun mendapatkan manfaat dari hasil kebun sawit itu.
Tindakan sewenang-wenang perusahaan ini selalu berlindung
atas UU perkebunan Nomor 18 tahun 2004. Dimana UU ini telah memberikan
legalitas yang sangat kuat kepada perusahaan-perusahaan perkebunan untuk
mengambil tanah-tanah yang dikuasai rakyat. Pasal-pasal dalam UU ini dengan
jelas memberikan ruang yang besar kepada perusahaan perkebunan baik swasta
maupun pemerintah untuk terus melakukan tindakan kekerasan dan kriminalisasi
terhadap petani[2].
Sedangkan pemicu konflik diareal HTI Reg 45 Way Buaya adalah
karena pemerintah telah memperluas luas kawasan hutan dimana sebagian lahan
merupakan tanah adat/ulayat. Tuntutan warga Desa Gunung Batu atas lahan seluas
7 ribu ha, hanya dikabulkan 2300 ha untuk kemudian di enclave dari kawasan HTI.
Dan ketika warga adat memberikan lahan untuk dikelola kepada warga lokal pihak
perusahaan dan aparat telah menstigma pengelola sebagai perambah hutan.
Menjadi pertanyaan besar karena keterlibatan aparat polisi
dalam semua kasus justeru bukan untuk meredam konflik melainkan melindungi
perusahaan. Jangan heran jika organisasi masyarakat sipil mengkatagorikannya
sebagai Centeng Perusahaan. Mengapa demikian karena polisi bukan menjadi
pangayom atau sekurangnya hadir disaat ketengangan terjadi, akan tetapi polisi
memang telah bermarkas di areal kebun sawit seperti di dapati di PT. BMSI.
Kondisi inilah yang telah memperumit situasi. Dan polisi pun dengan mudah
memuntahkan peluru kearah masyarakat tanpa mengikuti SOP.
Bukan hanya polisi, pihak Badan Pertanahan juga memiliki
andil sangat besar dalam kasus-kasus perkebunan sawit. Seharunya departemen ini
ketika akan menerbitkan HGU wajib berpegang kukuh pada prinsip clean dan clear.
Tentu harus pula melakukan pengawasan kelokasi terhadap areal HGU. Dan
memberikan respon cepat ketika terdapat pengaduan warga, bukan terus sibuk
menerbitkan HGU dan mengabaikan sengketa agraria.
Demikian pula Dinas Kehutanan. Seharusnya cepat mencabut
izin perusahaan yang dengan terang dan jelas telah menelantarkan lahan dan
menyalahgunakan peruntukan lahan. Seperti dilakukan oleh Silva Inhutani. Lahan
yang seharusnya ditanami kayu, malah ditanami singkong dan nenas. Semestinya
pula lahan-lahan yang diterlantarkan tersebut bisa diserahkan kepada warga
untuk dikelola dengan mekanisme hutan desa atau mekanisme lainya sehingga
fungsi hutan tetap terjaga dan masyarakat mendapat manfaat.
Berdasarkan advokasi WALHI, WANACALA dan LBH Bandar Lampung
pada tahun 2006 terhadap kasus Register 45, Penerimaan laporan dan investigasi
kasus di Desa Sodong oleh WALHI, YLBHI, Sawit Watch dan KpSHK pada Juli – Nopember
2011 dan investigasi kasus Desa Sritanjung an Kagungan Dalamm Kabupaten Mesuji
pada 11 Nopember 2011kami berkesimpulan bahwa wilayah Mesuji merupakan Ladang
Pelanggaran Ham Berat terhadap petani dimana kasus juga terjadi secara beruntun
dari tahun ketahun dan telah pula memakan korban jiwa yang cukup besar.
Pemerintah menginginkan penanganan kasus di Mesuji baik di
Sumatera Selatan maupun Lampung berlangsung secara menyeluruh dengan membentuk
tim yang akan menyampaikan rekomendasi agar tidak terjadi peristiwa serupa,kata
Menko Polhukam.
Menko Polhukam Djoko Suyanto dalam keterangan pers di Kantor
Presiden Jakarta, Jumat sore mengatakan tim yang dibentuk pemerintah diketuai
oleh Wakil Menteri Hukum dan Ham Denny Indrayana diisi oleh perwakilan dari sejumlah
pemangku kepentingan, tokoh masyarakat dan juga perwakilan perguruan tinggi.
"Ketua tim Denny Indrayana, melibatkan unsur terkait
seperti Komnas HAM, karena Komnas HAM memiliki gambaran yang tepat baik di
Mesuji Sumsel dan Mesuji Lampung. Berikutnya adalah kepolisian, miliki data
bagaimana penanganan di Mesuji Sumsel, dan Mesuji Lampung, dari Kantor Menko
Polhukam juga, dan melibatkan masyarakat dan Pemda Lampung dan Sumsel. Pak
Denny juga diberi keleluasaan bila menginginkan ada dari perguruan tinggi,"
katanya.
Djoko mengatakan penanganan kasus baik di Mesuji Lampung
maupun Mesuji Sumsel akan dibagi dalam dua langkah.
Langkah yang pertama, dilakukan penelaahan dan pemisahan
antara peristiwa yang terjadi di Mesuji Lampung dan Mesuji Sumatera Selatan termasuk
masing-masing bagaimana kejadiannya, latar belakang permasalahan dan korban
serta pelakunya.
Langkah yang kedua adalah proses hukum atas masing-masing
kasus sesuai dengan kondisi yang ada.
Semoga kasus –kasus yang merenggut HAM dapat terselasaikan, sehingga
masyarakat Indonesia dapat hidup dengan tentaram, saling mencintai satu sama
lain.
[2] Ruslan Burhani.http://gurupkn.wordpress.com/2008/02/22/pengertian-pengertian-hak-asasi-manusia/ (diakses tanggal 20 Desember 2011
pukul 19:00)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar