Artikel Islam dan Demokrasi. Pada karakter
fundamental, tidak ada konflik antara demokrasi dan sistem politik Islam
Oleh A. Fatih Syuhud
Pondok Pesantren Al-Khoirot
Banyak kalangan non-muslim (individual dan institusi)
yang menilai bahwa tidak terdapat konflik antara Islam dan demokrasi dan mereka
ingin melihat dunia Islam dapat membawa perubahan dan transformasi menuju
demokrasi. Robin Wright, pakar Timur Tengah dan dunia Islam yang cukup terkenal
menulis di Journal of Democracy (1996) bahwa Islam dan budaya Islam bukanlah
penghalang bagi terjadinya modernitas politik.
Peraih Nobel Gunnar Myrdal dalam karya magnum
opus-nya Asian Drama mengidentifikasi seperangkat modernisasi ideal termasuk di
dalamnya demokrasi. Berkenaan dengan agama secara umum dan Islam khususnya, dia
mengatakan: Doktrin dasar dari agama-agama Hindu, Islam dan Budha tidaklah
bertentangan dengan modernisasi. Sebagai contoh, doktrin Islam, dan relatif
kurang eksplisit doktrin Budha, cukup maju untuk mendukung reformasi sejajar
dengan idealisme modernisasi. Apabila demokrasi identik dengan egalitarianisme,
maka Islam dan Budha dapat memberikan dukungan bagi salah satu idealisme
modernisasi khususnya reformasi egalitarian.John O Voll dan John L Esposito,
dua pakar yang menjembatani Barat dan Timur tidak sepakat atas pandangan bahwa
Islam dan demokrasi tidak dapat ketemu. Menurut kedua pakar ini dalam khazanah
Islam terkandung konsep yang memberikan fondasi bagi muslim kontemporer untuk
mengembangkan program demokrasi Islam yang otentik.
Dalam menjelaskan sejumlah miskonsepsi umum di
Barat, Graham E Fuller (mantan Wakil Direktur National Intelligence Council di
CIA) menulis di jurnal Foreign Affairs (April, 2002): “Kebanyakan peneliti
Barat cenderung untuk melihat fenomena Islam politik seakan-akan ia sebuah
kupu-kupu dalam kotak koleksi, ditangkap dan disimpan selamanya, atau seperti
seperangkat teks baku yang mengatur sebuah jalan tunggal.
Inilah mengapa sejumlah sarjana yang mengkaji
literatur Islam utama mengklaim bahwa Islam tidak kompatibel dengan demokrasi.
Seakan-akan ada agama lain yang secara literal membahas demokrasi”.
Banyak kalangan sarjana Islam yang kembali mengkaji
akar dan khazanah Islam dan secara meyakinkan berkesimpulan bahwa Islam dan
demokrasi tidak hanya kompatibel; sebaliknya, asosiasi keduanya tak
terhindarkan, karena sistem politik Islam adalah berdasarkan pada Syura
(musyawarah). Khaled Abou el-Fadl, Ziauddin Sardar, Rachid
Ghannoushi, Hasan Turabi, Khurshid Ahmad, Fathi
Osman dan Shaikh Yusuf Qardawi serta sejumlah intelektual dan sarjana Islam
lain yang bersusah payah berusaha mencari titik temu antara dunia Islam dan
Barat menuju saling pengertian yang lebih baik berkenaan dengan hubungan antara
Islam dan demokrasi. Karena, kebanyakan diskursus
yang ada tampak terlalu tergantung dan terpancang
pada label yang dipakai secara stereotipe oleh sejumlah kalangan.
Menurut Merriam, Webster Dictionary, demokrasi dapat
didefinisikan sebagai “pemerintahan oleh rakyat; khususnya, oleh mayoritas;
pemerintahan di mana kekuasaan tertinggi tetap pada rakyat dandilakukan oleh
mereka baik langsung atau tidak langsung melalui sebuah sistem perwakilan yang
biasanya dilakukan dengan cara mengadakan pemilu bebas yang diadakan secara
periodik; rakyat umum khususnya untuk mengangkat sumber otoritas politik;
tiadanya distingsi kelas atau privelese berdasarkan keturunan atau kesewenang-wenangan.
Realitasnya adalah bahwa Islam tidak hanya
kompatibel dengan aspek- aspek definisi atau gambaran demokrasi di atas, tetapi
yang lebih penting lagi, aspek-aspek tersebut sangat esensial bagi Islam.
Apabila kita dapat melepaskan diri dari ikatan label dan semantik, maka akan
kita dapatkan bahwa pemerintahan Islam, apabila disaring
dari semua aspek yang korelatif, memiliki setidaknya
tiga unsure pokok, yang berdasarkan pada petunjuk dan visi Alquran di satu sisi
dan preseden Nabi dan empat Khalifah sesudahnya (Khulafa al-Rasyidin) di sisi
lain.
Pertama, konstitusional. Pemerintahan Islam
esensinya merupakan sebuah pemerintahan yang `’konstitusional”, di mana
konstitusi mewakili kesepakatan rakyat (the governed) untuk diatur oleh sebuah
kerangka hak dan kewajiban yang ditentukan dan disepakati. Bagi Muslim, sumber
konstitusi adalah Alquran, Sunnah, dan lain-lain yang dianggap relevan, efektif
dan tidak bertentangan dengan Islam. Tidak ada otoritas, kecuali rakyat, yang
memiliki hak untuk membuang atau mengubah konstitusi. Dengan demikian,
pemerintahan Islam tidak dapat berbentuk pemerintahan otokratik, monarki atau
militer. Sistem pemerintahan semacam itu adalah pada dasarnya egalitarian, dan
egalitarianisme merupakan salah satu ciri tipikal Islam. Secara luas diakui
bahwa awal pemerintahan Islam di Madinah adalah berdasarkan kerangka fondasi
konstitusional dan pluralistik yang juga melibatkan non-muslim.
Kedua, partisipatoris. Sistem politik Islam adalah
partisipatoris. Dari pembentukan struktur pemerintahan institusional sampai
tahap implementasinya, sistem ini bersifat partisipatoris. Ini berarti bahwa
kepemimpinan dan kebijakan akan dilakukan dengan basis partisipasi rakyat
secara penuh melalui proses pemilihan populer. Umat Islam dapat memanfaatkan
kreativitas mereka dengan berdasarkan petunjuk Islam dan preseden sebelumnya
untuk melembagakan dan memperbaiki proses-proses itu. Aspek partisipatoris ini
disebut proses Syura dalam Islam.
Ketiga, akuntabilitas. Poin ini menjadi akibat wajar
esensial bagi sistem konstitusional/partisipatoris. Kepemimpinan dan pemegang
otoritas bertanggung jawab pada rakyat dalam kerangka Islam. Kerangka Islam di
sini bermakna bahwa semua umat Islam secara teologis bertanggung jawab pada
Allah dan wahyu-Nya. Sementara dalam tataran praksis akuntabilitas berkaitan
dengan rakyat. Oleh karena itu, khalifah sebagai kepala negara bertanggung
jawab pada dan berfungsi sebagai Khalifah al-Rasul (representatif rasul) dan
Khalifah al-Muslimin (representatif umat Islam) sekaligus.
Poin ini memerlukan kajian lebih lanjut karena
adanya mispersepsi tentang kedaulatan (sovereignty): bahwa kedaulatan Islam
adalah milik Tuhan (teokrasi) sedangkan kedaulatan dalam demokrasi adalah milik
rakyat. Anggapan atau interpretasi ini jelas naif dan salah. Memang, Tuhan
merupakan kedaulatan tertinggi atas kebenaran, tetapi Dia telah memberikan
kebebasan dan tanggung jawab pada umat manusia di dunia.
Tuhan memutuskan untuk tidak berfungsi sebagai Yang
Berdaulat di dunia. Dia telah menganugerahi manusia dengan wahyu dan petunjuk
esensial. Umat Islam diharapkan untuk membentuk diri dan berperilaku, secara
individual dan kolektif, menurut petunjuk itu. Sekalipun esensinya petunjuk ini
berdasarkan pada wahyu, tetapi interpretasi
dan implementasinya adalah profan.
Apakah akan memilih jalan ke surga atau neraka
adalah murni keputusan manusia. Apakah akan memilih Islam atau keyakinan lain
juga keputusan manusiawi. Apakah akan memilih untuk mengorganisir kehidupan
kita berdasarkan pada Islam atau tidak juga terserah kita. Begitu juga, apakah
umat Islam hendak memilih bentuk pemerintahan Islam atau sekuler. Tidak ada
paksaan dalam agama.
Apabila terjadi konflik antara masyarakat dan
pemimpin, seperti mayoritas masyarakat tidak menginginkan sistem Islam, maka
kalangan pimpinan tidak dapat memaksakan sesuatu yang tidak dikehendaki oleh
masyarakat. Tidak ada paksaan atau tekanan dalam Islam. Karena tekanan dan
paksaan tidak akan menghasilkan hasil yang diinginkan dan
fondasi Islam tidak dapat didasarkan pada paksaan
atau tekanan.
Pada karakter fundamental yang didasarkan pada
poin-poin di atas, tidak ada konflik antara demokrasi dan sistem politik Islam,
kecuali bahwa dalam sistem politik Islam orang tidak dapat mengklaim dirinya
Islami apabila tindak tanduknya bertentangan dengan Islam. Itulah mengapa
umat Islam hendaknya tidak menganggap demokrasi dalam artian umum bertentangan
dengan Islam; sebaliknya, umat harus menyambut
sistem demokrasi. Seperti yang dikatakan oleh Dr Fathi
Osman, salah satu intelektual muslim kontemporer terkemuka, `’demokrasi
merupakan aplikasi terbaik dari Syura”.[]
*Pernah dimaut di Harian Pelita, 9 Nopember 2005
Sumber :
nice share kak,..
BalasHapusartikel yg bagus sekali,..
BalasHapusprodusen mukena katun jepang